Musim
dingin di kota Milan belum usai. Ini perjalanan pertamaku ke kota ini, atau mungkin
yang terakhir. Dengan gajiku sebagai detektif polisi mana mungkin aku bisa
berlibur ke luar negeri. Ya, mana mungkin bisa, kalau tidak ada kejadian itu
...
3
Bulan sebelumnya
Kringgg...
“Halo... Ada apa
inspektur?”
“Datanglah ke kantor!
sekarang!”
Tampaknya
ada masalah besar, atau mungkin inspektur yang dalam masalah? Lebih baik aku
meluncur saja sekarang.
Dalam
20 menit aku sudah berada di depan ruangan inspektur, walaupun aku harus
meninggalkan sarapan kesukaanku.
Tok...tok...
“Ijin masuk pak!”
“Selamat datang
detektif Liman, ini Mr.Rozelly, dia sedang butuh bantuan.”
“Amerigo
Rozelly, mohon bantuannya.”
Sepintas
pikiranku kosong, nama yang asing untukku, kenapa aku harus berurusan dengan
orang asing ini? Mau bagaimana lagi, kalau sudah sampai kantor polisi, ini
sudah menjadi tugasku.
“Liman...
Ler Liman, apa yang dapat saya bantu ?”
Ternyata
tangannya lebih besar dari dugaanku, sambil bersalaman kupikir tingginya
sekitar 190 cm, mungkin beratnya 80 kg atau lebih. Dia orang kaya. Pakaian
terlihat mahal, jam tangan berkelas melingkar di tangan kiri, cincin dengan
batu mulia yang tidak kupahami jenisnya, tapi aku yakin gajiku tidak cukup
untuk membelinya ada di jari manis tangan kanan.
“Saya sedang berlibur di sini, tetapi saya dan
mendapat ancaman!”
“Ancaman
seperti apa tuan?”
Ternyata
dia dan teman wanitanya merasa diikuti, kemanapun mereka pergi selalu ada yang mengawasi.
Maka dari itu dia meminta bantuan polisi untuk memastikan keselamatannya.
Walaupun terkesan seperti bodyguard, mau tak mau aku harus menerimanya, aku
mengawasi dari kejauhan aktivitas mereka berdua selama satu minggu, melihat
apakah ada penguntit yang datang di sekitar mereka.
Tepat di hari mereka akan meninggalkan negara
ini, muncul insiden yang tak terduga. Mereka dirampok oleh seorang supir taxi
yang mereka tumpangi. Seperti merebut permen dari anak kecil, aku muncul dari
penyamaranku dan menangkap si supir dengan mudah. Setelah diinterogasi,
ternyata orang ini memang sudah mengincar Mr.Rozelly sejak awal.
Hari
itu menjadi hari yang akan diingat oleh Mr.Rozelly dan teman wanitanya, begitu
juga aku. Kupikir semua hal melelahkan ini selesai ketika mereka pergi,
ternyata tidak. Sebelum mereka terbang meninggalkan negara ini, aku diberi
sebuah amplop yang tersegel.
“Kupikir ini layak
kuberikan untukmu Mr.Liman.”
“Terimakasih, tetapi
jika ini uang, saya tidak akan menerimanya.”
“Ha
ha ha... ini bukan uang, terima saja Mr.Liman, kuharap kau bisa memakainya”
Akhirnya
kuterima amplop itu.
Segera
setelah itu mereka menuju ruang tunggu pesawat, sambil berjalan Mr.Rozelly
melambaikan tangannya padaku tanpa menoleh. Lagi-lagi aku melihat cincinnya
yang mahal itu. Karena penasaran, saat itu juga ku buka amplop itu, dan inilah
isinya, undangan berlibur ke rumahnya, Milan, Italia.
Semua
itu terasa begitu cepat, seperti kemarin. Tak terasa aku sudah sampai di depan
sebuah rumah. Setelah turun dari pesawat dan menumpang taxi, sepertinya ini memang
alamatnya, kupikir demikian. Rumah yang terlihat mewah, dari luar terlihat
pagar setinggi 2 meter atau lebih, tembok yang cukup artistik. Di tengahnya sebuah
gerbang besi menjadi akses masuk utama dan pos security di baliknya.
Ku beranikan diri
menanyakan alamat yang kutuju.
“Permisi, apa benar ini
rumah Mr.Rozelly?”
“Anda siapa?” pria
berkulit gelap muncul dibalik gerbang besi.
“Saya Ler Liman, Mr.Rozelly
mengundang saya untuk datang kemari.”
“Silahkan
masuk!” Walaupun terlihat garang, dia tampaknya orang baik. Setelah membukakan
gerbang, ku ikuti orang ini ke arah bangunan mewah di depanku. Rumah berwarna
abu-abu yang terlihat modern, dengan design yang tidak biasa tentunya. Di
bagian kiri rumah ada ruangan yang menggunakan jendela kaca yang membuat isi
ruangan itu terlihat dari luar. Kulihat samar-samar karena kaca ruangan
tertutup embun ada seorang pria menggunakan sweater hitam duduk di dalam
ruangan, mungkin sedang menulis. Dia melihatku, lalu meletakan pena dan melambaikan
tangan kirinya padaku.
“Mr.Rozelly sudah
menunggu anda.”
Tanpa
menjawab perkataannya aku langsung membalas lambaian tangan Mr.Rozelly. Sesampainya
di beranda, kulihat ada satu pintu di kanan dan kiri, juga pintu utama didepanku
yang tepat menghadap gerbang di depan sana. Dari sini tak ada satupun jendela ataupun kaca, sehingga bagian dalam rumah sama sekali tak terlihat.
“Mari saya antarkan ke ruangan Mr.Rozelly.”
Dia membuka pintu
ruangan di sebelah kiri, aku hanya mengikuti sembari melihat detail bangunan
yang tampak. Tidak banyak ukiran pada dinding, tapi penggunaan warna yang
sesuai dapat membuat dindingnya enak dilihat.
Ternyata
di dalam ruangan ini masih ada ruangan lainnya, pria gelap tadi mengetuk pintu didepannya.
Knock...
Knock...
“Permisi Mr.Rozelly,
tamu anda sudah sampai.”
Pria
gelap itu masih berdiri didepan pintu sambil menunggu jawaban, sementara aku
hanya diam menikmati udara hangat yang sudah lama tak kurasakan. Pagi ini
adalah kali pertama aku merasakan udara musim dingin sepanjang hidupku.
“Sepertinya Mr.Rozelly
tidak berada di ruangannya.”
Pria
gelap tadi mencoba memutar knop pintu, namun hasilnya nihil, pintu terkunci.
Aneh pikirku, baru saja tadi aku melambaikan tangan padanya beberapa menit yang
lalu dari pintu gerbang.
Bzzt...
Bzzt...
“Oh... ini pesan dari Mr.Rozelly, katanya dia akan
membersihkan badan dulu di kamarnya, dan akan menemui anda di ruang utama.”
Dia membaca pesan dari telepon
pintarnya, dan menunjuk pintu di sebelah kananku.
“Oh, baiklah. Dimana ruang utamanya?”
“Mari saya antarkan.”
Kami
kembali keluar dari ruangan itu dan menuju ruang utama. Menuju ruang utama harus
melewati pintu utama yang berada di beranda. Aku tahu ruangan di balik pintu
kedua dalam ruangan tadi adalah kamar pribadi Mr.Rozelly, karena kudengar
sayup-sayup suara air dari dalam.
“Silahkan duduk, saya
akan memanggil kepala pelayan untuk menemui anda.”
“Oh, iya terimakasih.”
Sebelum
dia melangkah pergi, muncul seseorang dari rangan lainnya dengan wajah yang
menunjukkan keterkejutan.
“Selamat datang Mr.Liman,
saya Freddo Martello kepala pelayan di rumah ini.”
“Iya, saya Ler Liman,
kenalan Mr.Rozelly.” Kami bersalaman, dia cukup ramah. Tapi ada satu hal yang
menggangguku, parfumnya sangat menyengat.
“Mr.Rozelly sudah
menceritakan tentang anda, anda adalah penyelamat hidupnya.”
“Ahahaha... Mr.Rozelly
terlalu berlebihan menceritakannya.”
“Silahkan
duduk Mr.Liman.” Dia mempersilahkanku untuk duduk sambil memberi isyarat pada
pria gelap tadi untuk segera kembali ke ruangannya di depan sana, kasihan pria
itu. Dia langsung pergi tanpa berkata apapun lagi, mungkin memang dia pendiam
atau sekedar profesionalisme.
Setelah
menyuguhkan minuman, Freddo duduk dan menemaniku sembari membicarakan
perjalananku sampai bisa menemukan alamat ini. Kupikir dia orang yang ramah,
dia juga menceritakan keseharian majikannya. Mr.Rozelly adalah seorang penulis
novel terkenal di Italia. Kulihat sekeliling ruangan, ternyata benda yang
kucari tidak ada, lalu aku mengambil telepon pintarku.
“Sekarang pukul 09.40
Mr.Liman.” Dia mengangkat tangan kanannya dan melihat jam.
“Ah... terimakasih Mr.Martello.”
Aku
terkejut melihat senyum di wajahnya, ternyata dia tahu apa yang sedang kucari.
Sudah lebih dari 30 menit aku menunggu di ruangan ini, mungkin memang Mr.Rozelly
butuh waktu lama untuk membersihkan tubuhnya.
Ceklek...
“Silahkan masuk.” Pria
gelap itu lagi, dia bersama seseorang.
“Terimakasih Mr.Bianco.”
Seorang wanita cantik 25
tahunan dengan rambut hitam diikat ekor kuda, berwajah asia seperti seleraku
tentunya.
“Permisi, saya Jene
Sima, apakah anda Mr.Rozelly?”
“Silahkan duduk Mrs.Sima, saya Freddo Martello kepala
pelayan di rumah ini, Mr.Rozelly sebentar lagi akan kemari, mohon tunggu
sebentar. Perkenalkan ini Mr.Liman.”
“Ler Liman.” Aku berdiri dan memperkenalkan diriku.
“Jene Sima.” Dia menyambut tanganku dengan hangat.
Sekarang
kami bertiga duduk di ruangan utama, hanya Freddo yang berbicara banyak,
mungkin memang ini salah satu keahlian yang diperlukan sebagai kepala pelayan.
Sementara aku dan Jene hanya menanggapi seperlunya, jujur saja aku masih lelah.
Mungkin sudah 15 menit berlalu sejak Jene datang, dan Freddo tampak mulai
gelisah karena Mr.Rozelly tak kunjung muncul.
Ceklek...
“Kabar buruk Freddo,
badai salju sebentar lagi akan sampai wilayah ini.”
“Benarkah Pietro?”
“Aku baru saja melihat
di siaran TV, cepat tutup semua pintu dan jendela.”
“Ada apa ribut-ribut?
Freddo? Pietro?”Muncul gadis cantik dari ruang dalam, kurasa dia bagian dari
keluarga ini.
“Nona Rosa, sebentar lagi badai akan datang, saya
dan Pietro akan menutup semua jendela dan pintu.”
“Oh begitu, lalu siapa mereka?”
“Saya Ler Liman.”
“Saya Jene Sima.” Secara
refleks, kami berdua berdiri dan memperkenalkan diri pada gadis itu.
“Mr.Liman adalah tamu ayah anda, dan Mrs.Sima akan
menjadi dokter keluarga yang baru.” Freddo dengan sigap memperkenalkan aku dan
Mrs.Sima
“Ohh begitu, perkenalkan saya Rosa deSpine, putri
Mr.Rozelly. Freddo, dimana ayah?”
“Beliau masih di kamarnya kurasa. Akan saya
panggilkan, nona.”
“Tidak perlu, biar aku saja yang memanggilnya.”
Seketika Rosa mengetuk pintu kamar ayahnya.
“Ayah... berapa lama
kau akan di dalam sana?” Masih tidak ada jawaban, knop pintu diputar tetapi
tidak terbuka. Hening selama beberapa detik, firasat buruk...
“Kenapa tidak kita cari
di ruang kerja?” Akhirnya aku memecah keheningan
“Baiklah, akan ku lihat
di ruangannya.”
Pietro, bergegas keluar
ruangan. Tampaknya ada yang tidak beres dengan Mr.Rozelly, apakah dia baik-baik
saja...
“Toloong...
Toloong...!!!” Serentak kami yang berada di dalam ruang utama berlari keluar
mencari arah suara minta tolong.
“Ada apa Pietro?”
Pertanyaan
Freddo terjawab dengan pemandangan mengerikan di hadapan kami, Mr.Rozelly
tersungkur di lantai dengan posisi tertelungkup dan bersimbah darah. Sial,
padahal satu jam yang lalu aku masih melihatnya melambaikan tangan padaku.
Adakah yang sudah menganalisis kasus ini?
BalasHapusApakah sebuah pembunuhan?